Siapa yang menghamiliku

Siapa yang menghamiliku

umurku 23 tahun. Jika hidupku ibarat novel, mungkin aku adalah tokoh yang pembaca sulit pahami—kadang tampak kuat, kadang bodoh, kadang terlalu berani mengambil risiko, dan sering terjebak oleh perasaannya sendiri.

Lihat salah satu videoku DISINI

Aku punya lima pacar sekaligus. Bukan karena aku bangga, bukan pula karena aku haus perhatian. Semua itu bermula dari satu hal: ketakutanku terhadap kesepian.

Ada Raka, pria pertama yang membuatku merasa dijaga. Ia pekerja kantoran yang telaten menanyakan apakah aku sudah makan.
Ada Farel, fotografer keliling yang membuat dunia terasa lebih indah dari balik lensanya.
Kemudian Dion, teman masa kecil yang selalu muncul ketika aku kacau, seolah hidupnya dikhususkan untuk menyelamatkanku.
Lalu Andre, mahasiswa tingkat akhir yang lucu, cerdas, dan penuh kejutan.
Terakhir, Bima, si pendiam yang selalu menatapku seolah aku adalah rahasia yang ingin ia pecahkan.

Mereka hadir pada waktu yang berbeda dalam hidupku—tapi entah bagaimana, semuanya tetap bertahan.

Dan mungkin… aku yang tidak pernah benar-benar mengusir mereka.

Suatu pagi, hidupku berubah total.

Test pack itu menampilkan dua garis merah. Tegas. Jelas. Menghantam pikiranku seperti palu besar.

Aku hamil.

Aku duduk di lantai kamar mandi, menatap lantai dingin sambil menahan napas. Dunia di sekitarku seakan memudar, meninggalkan suara detak jantungku yang terus menghantam gendang telinga.

“Aku… hamil.” bisikku.

Masalahnya sederhana namun mengerikan:

Siapa ayahnya?

Aku mencoba menenangkan diri. Hari itu aku duduk di bus kota, memandangi luar jendela yang basah oleh gerimis. Setiap bayangan pria yang pernah memelukku melintas di kepala.

Raka, yang selalu mengatakan ingin berumah tangga.
Farel, yang tidak pernah berbicara tentang masa depan.
Dion, yang terlalu baik untuk disakiti.
Andre, yang mungkin akan ketakutan jika mendengar ini.
Atau Bima, yang paling misterius dan paling sedikit bicara.

Aku meremas tas kecilku. “Bagaimana aku bisa seceroboh ini?”

Sebuah pesan masuk.

Dari Raka.
“Sayang, kamu sudah sarapan? Mau aku bawakan makan siang?”

Hatiku langsung mencelos. Rasa bersalah seperti menenggelamkanku.

Pesan lain menyusul, dari Dion.
“Malem ini sempet ngobrol? Kamu kayaknya lagi banyak pikiran.”

Lalu Bima, singkat seperti biasa.
“Aku mau ketemu.”

Apa aku pantas untuk dicintai oleh lima laki-laki sebaik mereka? Apa yang sudah kulakukan pada hidupku?

Malam itu aku memberanikan diri bertemu Raka lebih dulu. Kami duduk di dalam mobilnya, ditemani lampu kota yang redup.

“Kamu pucat,” katanya. “Ada yang kamu sembunyikan?”

Aku menatap jari-jariku yang saling menggenggam. Nafasku berat.

“Raka… aku hamil.”

Mobil itu langsung hening. Suara jalanan di luar terdengar lebih keras dari biasanya.

Ia menoleh cepat. “Kita?” suaranya bergetar.

Aku tidak langsung menjawab.

Itulah kesalahan terbesar dalam hidupku—diam yang terlalu berbicara.

“Aku… tidak yakin.” akhirnya aku berkata pelan.

Raka terdiam lama, pupilnya mengecil. Ia memejamkan mata, menyandarkan kepala ke jok.

“Aku sayang kamu,” katanya lirih, “tapi aku juga butuh kejujuran, Nay.”

Aku menunduk. “Maaf.”

“Mau jawab jujur?” bisiknya. “Ada berapa laki-laki selain aku?”

Pertanyaan itu terasa seperti pisau yang perlahan masuk ke kulitku.

Aku mengumpulkan keberanian. “Empat.”

Raka memandangku lama. Lama sekali, hingga aku tak sanggup menahan tatapannya.

Ia akhirnya berkata, “Kalau kamu butuh waktu, ambil. Tapi aku… aku harus pergi.”

Ia tidak marah. Itu justru membuatku semakin hancur.

Setelah itu, aku seperti terseret arus keputusan demi keputusan. Aku bertemu Dion di taman dekat rumah.

“Nay, kamu kenapa?” Dion langsung memegang bahuku, penuh perhatian.

“Aku hamil, Dion.”

Ia tersenyum, sempat terlihat lega—sampai aku menambahkan, “Aku tidak tahu itu anak siapa.”

Senyumnya hilang seketika. Ia menarik napas panjang.

“Tapi aku tetap di sini,” katanya tiba-tiba. “Aku selalu ada buat kamu, kamu tahu itu.”

Sekarang yang tercekat adalah aku. “Jangan begitu. Kamu berhak marah.”

“Aku marah.” Nadanya rendah. “Tapi aku lebih takut kehilangan kamu.”

Hatiku makin berat.

Andre bereaksi terburuk. Ketika aku jujur, ia langsung berdiri dan mondar-mandir, memegang kepala seolah dunia runtuh.

“Kamu gila, Nay? Lima? Kamu pikir ini lucu?”

“Aku tidak meminta kamu bertanggung jawab…”

“Tentu saja kamu tidak minta!” Ia menunjukku, suaranya pecah. “Karena kamu juga tidak tahu siapa ayahnya!”

Ia pergi sebelum aku sempat menjelaskan apapun.

Yang paling tenang justru Bima.

Kami bertemu di kedai kopi kecil. Ia mendengarkan tanpa menginterupsi, tanpa bereaksi berlebihan. Setelah aku selesai bercerita, ia hanya menatapku lama.

“Aku tidak terkejut,” katanya.

Aku mengerjapkan mata. “Kamu… sudah menduga?”

“Kamu selalu tampak kesepian meski punya banyak orang,” jawabnya. “Aku tahu itu sejak pertama kali kita bertemu.”

Lalu ia berkata sesuatu yang membuatku kehilangan kata-kata:

“Aku tidak peduli anak siapa. Kalau kamu ingin, aku bisa tetap ada.”

Jantungku terasa seperti diremas.

“Kenapa?”

“Karena kamu manusia, Nay. Kamu bisa salah. Dan kamu butuh seseorang yang tidak lari.”

Untuk pertama kalinya sejak pagi itu, aku menangis.

Tiga minggu berlalu.

Aku menghadapi hidup hanya dengan tiga hal: rasa takut, rasa bersalah, dan janin kecil yang tumbuh di dalam diriku.

Lima laki-laki di hidupku kini bereaksi dengan pertanyaan masing-masing.
Beberapa menjauh. Beberapa ragu. Beberapa bertahan dengan caranya sendiri.

Tapi keputusan ada padaku.

Pada akhirnya aku duduk sendirian di kamar, memandangi foto USG pertama bayi itu. Bulan sabit kecil yang nyaris tak terlihat, tapi ada.

“Aku tidak akan kabur lagi,” bisikku. “Aku akan menanggung semuanya.”

Keesokan harinya, aku mengirimkan pesan panjang kepada kelima lelaki itu.

Isinya satu hal:

Bahwa mulai hari itu, aku tidak lagi ingin memiliki banyak sandaran. Tidak lagi ingin mencari cinta di lima tempat yang berbeda.

Aku memilih berjalan sendiri, menjadi ibu dari anak yang belum kukenal, dan memperbaiki hidupku dari awal.

Entah siapa ayahnya, aku akan tetap mencintai bayi ini.
Entah siapa yang bertahan dalam hidupku, aku tidak lagi takut kesepian.

Karena akhirnya aku menyadari:

Kesetiaan bukan tentang berapa banyak orang yang mencintaimu.
Tapi tentang seberapa berani kamu mencintai dirimu sendiri.

TAMAT



Download Wallpaper