Pacar pertama, masa puber
Videoku sempat viral pada masa itu dan aku masih ingat masa itu—saat rambutku mulai sering kukuncir rapi dan aku mulai bertanya-tanya kenapa wajahku mudah memerah tanpa sebab. Usia puber datang diam-diam, membawa perasaan asing yang tak pernah diajarkan di sekolah.
Sebut saja namanya Dimas.
Kami sekelas sejak kelas tujuh. Awalnya biasa saja, sampai suatu hari aku sadar jantungku berdetak lebih cepat setiap kali namanya dipanggil guru. Aku mulai memperhatikan hal-hal kecil: caranya tersenyum malu, suaranya yang sedikit berat, dan kebiasaannya meminjam pulpen dariku padahal dia punya.
Video Selengkapnya DISINI
Aku jadi rajin datang lebih awal ke kelas. Duduk di bangku sambil pura-pura membaca, padahal yang kutunggu hanya satu hal—dia masuk kelas dan menyapaku singkat. Kadang mata kami bertemu, lalu aku buru-buru menunduk, berharap dia tak menyadari pipiku memanas.
Suatu sore sepulang sekolah, Dimas menghentikanku di dekat gerbang. Tangannya gemetar saat menyodorkan secarik kertas. Isinya sederhana: “Aku suka kamu. Mau nggak jadi pacarku?”
Aku membacanya berulang kali, lalu mengangguk pelan. Tidak ada pelukan, tidak ada pegangan tangan. Hanya senyum canggung dan rasa bahagia yang terasa berlebihan untuk hal sesederhana itu.
Pacaran pertama kami sangat polos. Bertukar pesan lewat buku tulis, berbagi jajanan kantin, dan duduk berjauhan tapi saling memperhatikan. Rasanya dunia jadi sedikit lebih cerah hanya karena tahu ada seseorang yang menungguku di sekolah.
Beberapa bulan kemudian, perasaan itu memudar seiring kami tumbuh. Kami berpisah tanpa drama, tanpa air mata berlebihan. Namun sampai sekarang, aku masih tersenyum setiap mengingatnya.
Pacar pertamaku bukan tentang cinta besar. Ia tentang belajar merasa, tentang jantung yang berdebar untuk pertama kalinya, dan tentang kenangan sederhana yang diam-diam tinggal paling lama.
