Selingkuh Dengan Teman Kelas

Selingkuh Dengan Teman Kelas

 

Pagi itu, suasana kelas XI IPS 2 seperti biasa—ramai, riuh, dan penuh cerita sisa akhir pekan. Namun bagiku, semuanya terasa berbeda sejak beberapa bulan terakhir. Semua bermula ketika aku mulai terlalu sering memperhatikan Revan, teman sekelasku yang duduk dua baris di belakang.

Download video DISINI

Padahal aku sudah punya pacar, Dito, siswa kelas sebelah yang terkenal ramah dan penuh perhatian. Semua orang bilang hubungan kami ideal. Tapi rasa aneh yang muncul setiap menatap Revan membuatku mempertanyakan banyak hal tentang diriku sendiri.


Revan bukan tipe yang menonjol. Ia pendiam, lebih suka menunduk sambil menggambar di buku sketsanya. Tapi justru diamnya itu seperti magnet yang menarikku. Setiap kali aku menoleh, seolah ia selalu sedang memperhatikanku—atau mungkin aku hanya berharap begitu.


Suatu hari, hujan turun deras dan guru terlambat masuk. Siswa-siswa berhamburan keluar ke kantin, tapi aku memilih tetap di kelas. Beberapa menit kemudian, aku mendengar langkah pelan.


Revan masuk, basah oleh hujan.


“Kamu nggak ikut yang lain?” tanyanya pelan.


Aku menggeleng. “Mau istirahat di sini saja.”


Revan duduk di bangku belakang, tapi matanya terus mengarah ke tempatku.


“Kamu kelihatan capek,” katanya. Suaranya lembut, jauh lebih hangat daripada yang kukira.


Entah kenapa, saat itu aku ingin bercerita. Tentang bagaimana aku merasa hubungan dengan Dito makin hambar. Tentang bagaimana aku merasa seperti menjalani sesuatu yang tak lagi membuatku bahagia. Dan tentang diriku yang bingung menghadapi perasaan baru yang mulai tumbuh.


Tanpa sadar, aku sudah duduk di bangku sebelahnya.


“Kamu pernah… merasa salah, tapi juga merasa benar pada saat yang sama?” tanyaku.


Revan terdiam cukup lama sebelum menjawab, “Sering. Bahkan sekarang.”


Tatapannya menembus diamku. Ada sesuatu yang tidak perlu diucapkan, tapi kami berdua sama-sama merasakannya. Hening itu terasa berbahaya, sekaligus hangat.


“Kamu tahu aku sama Dito…” ucapku.


“Aku tahu.” Revan menunduk. “Makanya aku selalu jaga jarak. Tapi kadang… aku nggak bisa.”


Dadaku berdebar keras. Kalimat itu seperti membuka pintu yang selama ini kutahan rapat-rapat.


Hujan makin deras, dan entah bagaimana, jarak di antara kami makin dekat. Tidak ada yang terlalu berani untuk melangkah, tapi tidak ada yang benar-benar ingin mundur. Pada momen itu aku sadar: kami sudah melewati batas yang seharusnya.


Setelah bel masuk berbunyi, semuanya kembali normal. Teman-teman masuk, kelas ramai lagi. Tapi aku dan Revan menghindari saling pandang seolah takut ketahuan.


Sepulang sekolah, Dito menjemputku seperti biasa. Ia tersenyum, memegang tanganku, bercerita panjang lebar tentang pertandingan basketnya. Tapi pikiranku melayang pada satu hal—tatapan Revan di kelas tadi.


Malamnya, aku menerima pesan singkat.


Revan: “Maaf kalau aku bikin kamu bingung.”

Aku: “Aku yang salah. Aku harusnya nggak sedekat itu.”

Revan: “Tapi aku nggak menyesal.”


Aku terdiam lama sebelum membalas.


Aku: “Aku juga.”


Sejak hari itu, kami tidak pernah membicarakan apa yang sebenarnya terjadi. Kami tetap teman kelas biasa. Tapi setiap tatapan, setiap senyum singkat, setiap bisikan kecil terasa seperti rahasia yang hanya kami berdua tahu.


Rahasia yang manis…

dan menyakitkan pada saat yang sama.

TAMAT

Download Wallpaper