Istri simpanan Om Ari
Hujan sore itu turun tanpa jeda, menampar kaca jendela seperti garis-garis luka yang tak pernah sembuh. Dimas duduk diam di sofa ruang tamu, memandangi layar ponsel yang bergetar di tangannya. Nama “Om Ari” muncul berulang-ulang. Sosok pria paruh baya yang dulu ia hormati, rekan bisnis mendiang ayahnya, seseorang yang tak pernah ia curigai akan menjadi sumber kehancuran.
Ponsel itu bukan miliknya. Itu milik Sinta—istrinya. Ia tidak berniat menggeledahnya. Ponsel itu hanya tertinggal di meja makan, dan pesan itu muncul begitu saja.
“Besok kita seperti biasa, ya. Jangan takut. Aku selalu jaga kamu.” — A.
Dimas merasa seluruh tubuhnya mendingin. Pesan itu terlalu jelas untuk disalahartikan.
Pintu terbuka. Sinta masuk sambil membawa payung basah. Rambutnya menetes, wajahnya lelah namun tetap berusaha tersenyum.
“Kamu belum makan?” tanyanya lembut, tak menyadari badai yang menunggu.
Dimas tak menjawab. Ia hanya mengangkat ponsel itu.
Wajah Sinta langsung memucat. Senyumnya hilang seketika, digantikan rasa takut yang perlahan muncul di mata.
“Aku cuma mau tanya,” suara Dimas tidak tinggi, justru terdengar lebih menyakitkan. “Kamu masih anggap aku suami kamu?”
Sinta menelan ludah. Tubuhnya gemetar. “Dim… aku bisa jelaskan…”
“Berapa lama?”
Tangis Sinta pecah sebelum ia sempat menjawab. “Aku… aku salah. Tapi aku merasa sendirian. Kamu sibuk… kamu jauh. Dan Ari… dia cuma datang di saat aku butuh teman bicara.”
“Dan kamu jadi istri simpanannya,” ucap Dimas lirih namun tegas.
Kata itu seperti menampar Sinta. Ia memegangi wajahnya, tersedak dengan air mata yang jatuh tanpa henti.
---
Beberapa jam berikutnya mereka duduk di meja makan, namun seperti dua orang asing. Sinta menjelaskan semuanya dengan suara parau. Tentang bagaimana awalnya hanya curhat. Tentang betapa Ari hadir sebagai tempat bersandar. Tentang bagaimana ia tahu itu salah, tetapi tetap melangkah ke arah yang salah.
“Aku berhenti. Aku sudah bilang sama Ari,” katanya memohon. “Aku mau perbaiki semuanya.”
“Aku ingin percaya.” Dimas menunduk. “Tapi yang kamu jaga belakangan ini bukan aku. Bukan pernikahan kita.”
Malam itu tidur mereka terpisah. Hening menjadi penghuni rumah. Sinta mencoba mendekat beberapa kali, tetapi Dimas terlalu terluka untuk membuka pintu hatinya.
Hari berganti hari, namun jarak itu tetap ada. Sinta memasak sarapan, membersihkan rumah, memperlakukan Dimas seperti dulu, tapi semuanya seperti hanyut tanpa diterima. Dimas berbicara seperlunya, tidak marah, hanya kehilangan sesuatu yang jauh lebih penting dari itu—kepercayaan.
Suatu pagi, Sinta meninggalkan surat kecil di meja makan.
“Aku tidak minta dimaafkan sekarang. Tapi tolong lihat aku sebagai manusia yang tersesat, bukan seseorang yang tidak pernah mencintaimu.”
Dimas membaca surat itu lama, namun hatinya tetap tak kembali seperti semula.
Puncak segalanya datang ketika Dimas tak sengaja bertemu Ari di pusat perbelanjaan. Pria itu menyapanya dengan senyum sok ramah.
“Dimas, lama tidak—”
“Jangan sentuh aku,” potong Dimas dingin.
Ari terdiam kaku. “Kamu tahu juga, ya?”
“Kamu menghancurkan rumah tanggaku,” kata Dimas, menatapnya lurus. “Tapi istriku juga memilih ikut. Jadi ini bukan hanya salahmu.”
Ari tidak membela diri. Tidak meminta maaf. Tidak ada rasa penyesalan di wajahnya—hanya ketidaknyamanan karena ketahuan. Dan itu cukup bagi Dimas untuk mengunci hatinya.
Malamnya, ia pulang dengan kepala penuh keputusan. Sinta ada di ruang tamu, duduk sambil memegang mug teh yang kini sudah dingin. Matanya sembap, seakan sudah tahu apa yang akan terjadi.
“Sin…” Dimas duduk perlahan. “Aku sudah berpikir keras.”
Sinta sudah menangis sebelum ia selesai bicara. “Dim, tolong… beri aku kesempatan. Aku akan putus total dari Ari. Kita bisa pindah, mulai dari awal. Aku janji.”
“Aku tahu kamu menyesal,” kata Dimas, suaranya berat. “Tapi kepercayaan itu… tidak tumbuh lagi. Bukan sekarang. Mungkin tidak akan pernah sama.”
“Apa… kamu mau pisah?”
Butuh waktu panjang sebelum Dimas menjawab.
“Aku tidak mau hidup dengan kecurigaan. Dan aku tidak mau kamu hidup dalam rasa bersalah selamanya. Jadi… mungkin lebih baik kita selesai.”
Tangis Sinta pecah, patah, mengguncang seluruh tubuhnya. “Aku masih cinta kamu…”
“Aku juga masih,” ucap Dimas pelan, “tapi cinta tidak cukup untuk memperbaiki kaca yang sudah retak.”
Ia menyerahkan map biru berisi berkas perceraian. Sinta memejamkan mata, seakan menolak kenyataan itu. Tetapi ia menandatanganinya juga, dengan tangan gemetar.
“Aku cuma mau satu hal,” bisik Sinta. “Kalau suatu hari aku ingin memperbaiki diri… kamu masih mau bicara sama aku?”
Dimas tersenyum lemah. “Pintu selalu terbuka untuk bicara. Tapi bukan sebagai suami-istri lagi.”
Hari penandatanganan berkas itu menjadi hari paling sunyi bagi keduanya. Tidak ada drama, hanya kesedihan yang terlalu dalam untuk diungkapkan kata.
Sinta pindah ke rumah ibunya. Dimas kembali tinggal sendiri. Mereka masih sesekali bertukar kabar, tetapi sekadar formalitas, tidak lebih.
Malam terakhir sebelum Dimas pindah kota untuk memulai hidup baru, ia menemukan foto pernikahan mereka di dalam laci. Ia menatapnya lama—wajah dua orang yang dulu percaya bahwa cinta mampu menghadapi segalanya.
“Semoga kamu bahagia, Sin…” ucapnya lirih.
Ia memasukkan foto itu kembali ke laci, menutupnya perlahan, dan meninggalkan rumah yang pernah mereka bangun bersama.
Di luar, hujan turun lagi—seperti awal cerita ini.
Tapi kali ini, Dimas tidak melihatnya sebagai luka.
Melainkan sebagai air yang membersihkan sisa-sisa masa lalu, agar langkah barunya bisa lebih ringan.
TAMAT
