Hamil saat SMP
Nadia duduk di bangku belakang ruang UKS, kedua tangannya gemetar saat menggenggam hasil tes yang baru saja ia lihat. Garis merah itu jelas sekali. Positif. Dunia yang selama ini terasa luas tiba-tiba menyempit hingga hanya sebesar ruangan kecil itu.
Ia baru kelas 2 SMP.
Sepulang sekolah, langkah Nadia terasa berat. Di kepalanya, bayangan wajah ibunya terus muncul—tegas, penuh harapan. Nadia tahu, ibu ingin ia jadi orang pertama di keluarga yang bisa melanjutkan sekolah sampai kuliah.
Malam itu, ketika keberanian akhirnya terkumpul, Nadia berkata lirih, “Bu… Nadia harus bilang sesuatu.”
Ibunya berhenti melipat baju. Tatapan itu, tajam sekaligus penuh cinta, membuat air mata Nadia jatuh tanpa bisa ditahan.
“Aku… hamil, Bu.”
Keheningan itu terasa panjang, menyesakkan. Namun yang terjadi bukan kemarahan seperti yang ia bayangkan. Ibunya menatapnya lama, lalu menariknya ke dalam pelukan.
“Kamu mungkin salah, Nak… tapi kamu tetap anak Ibu. Kita hadapi ini bersama.”
Hari-hari berikutnya tidak mudah. Nadia harus menghadapi tatapan teman-teman yang mulai bergosip, guru BK yang memanggilnya, dan masa depan yang serasa berantakan. Namun, ada satu hal yang membuatnya bertahan: ia tidak sendirian.
Ibunya mendampinginya ke puskesmas, membantu menjelaskan ke pihak sekolah, dan perlahan mengajari Nadia bahwa hidup tidak berhenti hanya karena satu kesalahan. Bahwa setiap orang, sekecil apa pun, masih punya kesempatan untuk bangkit.
Suatu sore, sambil memegang perutnya yang mulai membesar, Nadia berkata pelan,
“Aku akan tetap sekolah, Bu. Aku mau bertanggung jawab… dan tetap jadi seseorang.”
Ibunya tersenyum lembut. “Itu yang I
bu harapkan sejak awal.”
TAMAT
