Kamar Kos
Kang Junaedi duduk di kursi plastik biru, menatap layar ponselnya tapi jelas pikirannya tak ada di sana. Ia selalu memanggilku “Dek”, dengan nada lembut yang entah sejak kapan membuat dadaku hangat.
“Apa kamu takut sendirian pas hujan gini?” tanyanya, memecah sunyi.
Aku tersenyum dan menggeleng pelan. “Selama ada Kang Junaedi, aku nggak takut.”
Ia tertawa kecil, lalu menatapku. Tatapan itu berbeda—lebih lama, lebih dalam. Seolah kamar kos yang sederhana ini menjadi saksi perasaan yang selama ini kami simpan rapat-rapat.
Aku ingat pertama kali kami bertemu, di lorong kos yang sempit. Ia membantuku memperbaiki lampu kamar tanpa banyak bicara. Sejak saat itu, kebersamaan kecil berubah jadi kebiasaan—kopi malam, dan obrolan ringan.
Hujan makin deras. Tanpa sadar, jarak di antara kami semakin dekat. Dan semua pun terjadi, Ia menghujam ku dalam-dalam tanpa perlawanan dariku.
Video Selengkapnya DISINI
Di kamar kos sederhana itu, aku belajar satu hal: cinta tak selalu datang dengan kemewahan. Kadang ia hadir lewat perhatian kecil, lewat orang yang duduk di sampingmu saat dunia terasa sunyi.
Dan malam itu, aku tahu—hatiku sudah menemukan rumahnya.
